A. Jati Diri Kabupaten Pasuruan
Kabupaten Pasuruan merupakan kawasan
kota kuno yang mempunyai banyak peninggalan benda-benda purbakala dan
sejarah. Dalam literatur-literatur kuno ditemukan berbagai informasi
yang menunjukkan kebesaran kota Pasuruan yang sungguh-sungguh gemilang.
Secara analitis teoritis, keagungan dan keanggunan jati diri budaya
Kabupaten Pasuruan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Jati Diri Historis
Yaitu
kemampuan masyarakat Pasuruan dalam melintasi aspek kesejarahannya.
Pentas sejarah masyarakat Pasuruan senantiasa diwarnai dengan semangat
patriotisme, nasionalisme dan heroisme, keprajuritan, kebangsaan, dan
kepahlawanan.
2. Jati Diri Epigrafis
Yaitu kemampuan masyarakat
Pasuruan dalam hal tulis-menulis. Berabad-abad lamanya masyarakat
Pasuruan mempunyai ketrampilan membaca dan menulis. Beberapa petilasan
kuno ditemukan di sekitar wilayah Pasuruan.
3. Jati Diri Kosmopolis
Yaitu
kemampuan masyarakat Pasuruan dalam mengelola kota-kota yang menjadi
pusat interaksi sosial masyarakat dunia. Sejak dulu kala kota Pasuruan
merupakan kawasan bisnis internasional. Para pengusaha dari berbagai
bangsa berkumpul untuk melakukan aktivitas bisnis. Kota Pasuruan ramai,
meriah, dan ramah berhubung suasana yang kondusif. Keamanan terjamin dan
adanya kepastian tata tertib berdagang membuat para eksportir dan
importir mau berinvestasi di kawasan Pasuruan. Roda perekonomian yang
lancar ini membuat masyarakat Pasuruan makmur, maju dan dinamis.
4. Jati Diri Antropologis
Yaitu
kemampuan masyarakat Pasuruan dalam menjalankan dinamika kebudayaan.
Kebudayaan Pasuruan yang sudah terbiasa berkomunikasi dengan bangsa Asia
Selatan, Asia Tengah, dan Asia Barat, membuat akulturasi budaya yang
mengakomodir tradisi agama, ilmu dan adat.
5. Jati Diri Sosiologis
Yaitu
kemampuan masyarakat Pasuruan dalam menyesuaikan perkembangan
modernitas, sebuah adaptasi yang telah menghasilkan sintesa ekonomi
antara budaya tradisional dan modern. Pasuruan merupakan kawasan
kerajinan besar dan strategis. Kerajinan-kerajinan ini telah
mengembangkan peradaban bangsa, terutama dalam distribusi skill dan
finansial. Tidak terlalu berlebihan jika Pasuruan ini nanti menjadi
kiblat lainnya dalam hal pengembangan kerajinan. Oleh karena itu
apresiasi terhadap Pasuruan perlu dipublikasikan secara luas.
6. Jati Diri Teknokratis
Yaitu
kemampuan masyarakat Pasuruan dalam merancang, merumuskan dan
melaksanakan program-program kolektifnya. Salah satu keunggulan bangsa
Indonesia adalah kemampuannya dalam hal mengelola negara dan
pemerintahan. Ketrampilan berorganisasi bangsa Indonesia terbukti
dengan adanya berbagai macam kerajaan beserta
peninggalan-peninggalannya. Manajemen kenegaraan dan pemerintahan hanya
bisa dilakukan oleh sebuah bangsa yang telah mempunyai peradaban tinggi.
Pasang surut kerajaan-kerajaan itu diwarnai dengan peristiwa politik
seperti suksesi, negosiasi, dan diplomasi. Struktur kekuasaan dikelola
dengan prinsip-prinsip kesepakatan antar elit istana dengan berdasarkan
nilai-nilai yang masih diyakini masyarakat umum. Kesepakatan politik itu
dituangkan dalam bentuk konstitusi yang belaku dan mengikat bagi
segenap warga kerajaan.
B. Sejarah Kabupaten Pasuruan
Secara kronologis sampai sekarang para bupati yang pernah memimpin Kabupaten Pasuruan sudah berjumlah 35 orang, yakni :
1. Bupati Darmoyoedo I atau Aryo Loemantoeng (1613-1645).
Beliau mendapat gelar kehormatan Kyai Pengantenan yang merupakan wayah Kyai Ageng Gribig Malang. Beliau dimakamkan di Pasuruan.
2. Bupati Darmoyoedo II (1645-1657).
Perjuangan Darmoyoedo I dilanjutkan oleh putranya yang bergelar
Darmoyoedo II. Setelah wafat dimakamkan di desa Porodeso Pasuruan, tepat
di belakang Kantor Pemerintah Kabupaten.
3. Bupati Darmoyoedo III (1658-1671).
Kadipaten Pasuruan selanjutnya dipimpin oleh cucu Darmoyoedo I yang
bergelar Darmoyoedo III. Kini makamnya di daerah Sentono Panji Kediri.
4. Bupati Onggojoyo (1671-1686).
Selanjutnya Pasuruan dipimpin oleh Bupati Onggojoyo yang masih keturunan Kyai Brondong. Makamnya berada di Boto Putih Surabaya.
5. Bupati Wironegoro atau Oentoeng Soerapati (1686-1706).
Oentoeng Soerapati gigih melawan penjajahan Belanda. Dia diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Makamnya di Mancilan Pasuruan.
6. Bupati Rahmat (1707-1708).
Putra Oentoeng Soerapati yang bernama Rahmat meneruskan perjuangan
ayahandanya. Dalam pertempuran dengan VOC, beliau gugur di Medan Laga
pada tahun 1708.
7. Bupati Darmoyoedo IV atau Wongsonegoro (1708-1743).
Kepemimpinan Pasuruan kemudian dipegang oleh Darmoyoedo IV. Beliau menggantikan Bupati Rahmat.
8. Bupati Aryo Nitiadiningrat I atau Raden Garoedo (1757-1799).
Kadipaten Pasuruan seterusnya dibawah kepemimpinan Aryo Nitiadiningrat
I. Beliau adalah putra Sinuwun Paku Buwono IV dari kerajaan Mataram yang
beribukota di Kartasura.
9. Bupati Aryo Nitiadiningrat II (1800-1809).
Putra Aryo Nitiadiningrat I selanjutnya meneruskan kepemimpinan ayahandanya dengan gelar Aryo Nitiadiningrat II.
10. Bupati Aryo Nitiadiningrat III (1809-1833)
Putra Aryo Nitiadiningrat II selanjutnya meneruskan kepemimpinan ayahandanya dengan gelar Aryo Nitiadiningrat III.
11. Bupati Aryo Nitiadiningrat IV (1833- 1887)
Putra Aryo Nitiadiningrat III selanjutnya meneruskan kepemimpinan ayahandanya dengan gelar Aryo Nitiadiningrat IV.
12. Bupati RMAA Soegondo (1887-1901)
Darah biru dari trah Mataram yang bernama RMAA Soegondo melanjutkan
kepemimpinan Pasuruan. Beliau adalah putra KGPAA Mangkunegoro IV.
13. Bupati RMAA Darko Soegondo I (1901 - 1916)
RMAA Soegondo digantikan oleh putranya yang bernama RMAA Darko Soegondo I.
14. Bupati RMAA Soeyono (1916-1929)
RMAA Darko Soegondo I digantikan oleh menantunya yang bernama RMAA Soeyono.
15. Bupati RMT Darko Soegondo II (1929 - 1931).
RMAA Soeyono digantikan oleh iparnyanya yang bernama RMAA Darko Soegondo II.
16. Bupati RT Bowodiman (1931 - 1933)
Raden Tumenggung Bowodiman memimpin Pasuruan dengan penuh kebijaksanaan sesuai dengan norma agama dan budaya hingga tahun 1933.
17. Bupati RAA Harsono (1933 - 1936)
Kabupaten Pasuruan kemudian dipimpin oleh RAA Harsono. Sebelumnya beliau pernah menjadi bupati di Bangil.
18. Bupati RT Aryo Hoepoediyo (1936 - 1945)
Dalam masa penjajahan Jepang, Pasuruan dipimpin oleh Bupati RT Aryo
Hoepoediyo. Selama kepemimpinannya rakyat Pasuruan mendapat perlindungan
dari kejamnya penjajah.
19. Bupati R Soejono (1945 - 1947).
Raden Soejono diangkat menjadi Bupati Pasuruan setelah Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Beliau aktif dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan.
20. Bupati RM Darko Soegondo III (1947 - 1948)
Trah Darko Soegondo kembali berperan dalam kepemimpinan Pasuruan dengan
tampilnya RM Darko Soegondo III. Makamnya di belakang Masjid Pasuruan.
21. Bupati RT Soedarmo (1948 - 1949).
Selama perang kemerdekaan yaitu sewaktu terjadi agresi militer Belanda, Pasuruan dipimpin oleh RT Soedarmo.
22. Bupati RT Soediman Hadiatmodjo (1949 - 1950)
Setelah pengakuan kedaulatan RI Pasuruan dipimpin oleh RT Soediman Hadiatmodjo selama 1 tahun.
23. Bupati R Soentoro (1950 - 1951).
Raden Soentoro menggantikan RT Soediman pada tahun 1950. Masa jabatan beliau juga hanya 1 tahun.
24. Bupati Said Hidayat (1951-1956).
Bupati Said Hidayat memimpin Pasuruan selama 5 tahun. Ia banyak
melakukan konsolidasi politik sampai pemilu pertama di Indonesia.
25. Bupati Koesno Soero Atmodjo (1956 - 1957).
Karena situasi politik nasional pada umumnya masih kurang kondusif,
kepemimpinan Bupati Koesno Soero Atmodjo hanya berumur 1 tahun.
26. Bupati R. Mahmoed (1957-1959).
Dua tahun kemudian kedudukan bupati Pasuruan dipegang oleh Raden Mahmoed hingga dekrit Presiden.
27. Bupati R. Ismangoen Danoesastro (1959 - 1965).
Masa pasca Dekrit Presiden sampai tahun 1965, jabatan bupati Pasuruan dipegang oleh R. Ismangoen Danoesastro.
28. Bupati M. Aminoeddin (1965 - 1968).
Selama kurang lebih tiga tahun kemudian, M. Aminoeddin memegang jabatan Bupati Pasuruan.
29. Bupati Moechin Moefti (1968 - 1973).
Tampilnya Mayor TNI AD Moechin Moefti sebagai Bupati Pasuruan menandai era kepemimpinan tentara dalam jabatan politik.
30. Bupati Moejono Hardjomartoyo (1973 - 1978)
Letkol TNI AD Moejono Hardjomartoyo meneruskan kepemimpinan
pendahulunya, Mayor TNI AD Moechin Moefti. Keduanya dari militer
Angkatan Darat.
31. Bupati Jlitheng Soejoto (1978-1988)
Bupati Jlitheng Soejoto mempelopori pembangunan di Kabupaten Pasuruan dalam segala bidang.
32. Bupati Sihaboeddin (1988-1993)
Bupati Sihaboeddin meneruskan pembangunan dengan strategi pendekatan kepada hubungan ulama umara yang harmonis.
33. Bupati Sapoetro (1993-1998)
Pada masa kepemimpinan Bupati Sapoetro, kehidupan seni budaya mendapat
perhatian yang layak sehingga sering mendapat penghargaan.
34. Bupati Dade Angga (1998 – 2003).
Bupati Dade Angga merupakan Bupati Pasuruan di tengah maraknya
perubahan sosial politik di Indonesia. Di era reformasi itu, beliau
mencurahkan perhatiannya untuk kemajuan Pasuruan.
35. Bupati Jusbakir Aldjufri (2003 – 2008)
Berbekal pengalaman para pendahulunya, Bupati Jusbakir Aldjufri
berusaha untuk selalu berprinsip mendhem jero mikul dhuwur. Prestasi
para pemimpin Pasuruan dilanjutkan dan dikembangkan terus.
Kekurangan-kekurangannya dijadikan sebagai pelajaran. Pada masa jabatan
Jusbakir Aldjufri, Pasuruan diharapkan akan melakukan kebijakan yang
berdasarkan pada kearifan lokal dan sejarah. Beliau selalu ingat
kata-kata mutiara Presiden Soekarno, Jasmerah, jangan sekali-kali
melupakan sejarah. Tidak mengherankan apabila beliau senantiasa
mendukung penuh segala kegiatan yang berkaitan dengan aspek kesejarahan
yang terjadi di Kabupaten Pasuruan.
Kabupaten Pasuruan atau Gembong
merupakan wilayah yang paling lama dikuasai oleh raja-raja Tumapel. Di
daerah ini ditemukan banyak peninggalan candi Jawa Timur tempat
permakaman raja-raja serta keluarganya. Hal ini menunjukkan bahwa
raja-raja telah mendirikan tempat tinggal di daerah itu atau menggarap
perladangan.
Dalam Nagara Kertagama, nama Pasu¬ruan berkali-kali
disebutkan. Pada abad ke-19 dikumpulkan banyak dongeng setempat, yang
berasal dari daerah-daerah di Pasuruan dan Singasari (Brandes, 1904).
Sejarah ter-sebut banyak menceritakan pertempuran yang pernah
berkecamuk. Raja Singasari ialah salah seorang dari empat raja di
samping Jenggala, Kediri, dan Ngurawan yang ditampilkan dalam
kisah-kisah panji yang bersifat sejarah.
Di ujung timur daerah Jawa
Timur ini, yang merupakan gerbang antara laut dan pegunungan ke ujung
timur Jawa, dikisahkan terjadi pertempuran antara orang Bali dan orang
Jawa. Terlalu sedikitnya informasi historis tidak memungkinkan kita
menentukan apakah kisah itu dapat dipercaya. Yang termasuk sejarah
daerah ini adalah kisah mengenai Danau Grati yang sering dituturkan
kembali. Grati adalah sebuah distrik di pelosok Pasuruan.
C. Nilai Stategis Kabupaten Pasuruan
Pada
dasawarsa pertama abad ke-16 yang menjadi raja di Gamda adalah putra
Gusti Pati, mahapatih kraton besar. Ia bernama Pati Sepetat, dan ia
menjadi menantu Pati Pimtor, raja yang berkuasa di Blambangan, juga
menantu Raja Madura. Nama Sepetat ini dapat dihubungkan dengan Menak
Sapetak atau Menak Supetak, nama pendiri Kotanegara Pasuruan, tokoh
termasyhur dalam sejarah, yang ayahnya dikatakan seekor anjing. Kiranya
masuk akal jika Pijntor berasal dari gelar raja Jawa Binatara yang
ejaannya telah rusak, dan berasal dari bahasa Jawa Kuno Bathara
(Zoetmulder, 1985).
Tuban, Gamda, dan kota-kota pelabuhan Jawa yang
pada zamannya masih dikuasai Narendra Agung atau patih Gusti Pati.
mengenai perdagangan di Gamda ia tidak dapat memberi gambaran banyak
(Darusuprapta, 1984). Tetapi, yang krusial ialah berita bahwa Pati
Sepetat, dengan bantuan ayah mertuanya, patih Majapahit, memerangi
Adipati Surabaya dan menghalang-halangi dakwah Islam di Jawa Timur dan
ujung timur Jawa. Yang sesuai dengan berita pada sekitar 1515 itu ialah
kisah Jawa mengenai seorang trah patih Majapahit di Sengguruh melawan
pasukan Islam yang terus mendesak. Itu terjadi sesudah runtuhnya kota
kraton Majapahit pada 1527. Sengguruh dulu ter¬masuk daerah yang oleh
Tome Pires disebut Gamda.
Kisah Jawa tersebut ditinjau secara
menyeluruh, maka jelaslah bahwa para raja dan pejabat Jawa di pelosok
Jawa Timur dan di ujung timur Jawa itu hingga dasawarsa-dasawarsa
pertama abad ke-16 memiliki semangat cukup besar. Mereka bertahan
terhadap pasukan Islam yang mendesak masuk dari pesisir utara dan dari
Jawa Tengah, yang dipimpin oleh orang-orang bukan Jawa dan yang berdarah
campuran.
D. Perkembangan Islam di Pasuruan
Daerah Gamda
meliputi daerah Pasuruan, maka dapat dimengerti mengapa tidak ada kisah
Jawa mengenai tempat-tempat makam keramat Islam yang terletak di timur
Surabaya. Di pesisir Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat kekuasaan
jatuh ke tangan pejabat Islam dengan cara bertahap tanpa banyak
perlawanan dari kalangan anak negeri sendiri (Clifford Geertz, 1981).
Hal
itu disebabkan juga oleh pengaruh buruh asing yang kaya dan berwibawa
dalam masyarakat. Juga berkat para pendiri jemaah Islam pertama yang
dihormati sebagai wali. Di daerah timur Surabaya pada abad ke-15 dan 16,
agaknya kelompok buruh yang membawa agama Islam kurang berpengaruh di
kota-kota pelabuhan dibandingkan dengan raja-raja setempat. Waktu pada
abad ke-16 dan ke-17 raja-raja Islam dari Demak Bintara dan Mataram
ingin memperluas daerah kekuasaannya di ujung timur Jawa, sebagian saja
yang berhasil, meski demikian perjuangan mereka sudah maksimal. Hanya
daerah Pasuruan, yang berbatasan dengan Surabaya, yang dapat dikuasai
Narendra Agung Islam di Demak Bintara pada paruh pertama abad 16.
Penaklukan
oleh Kanjeng Sultan Trang-gana dari Demak Bintara, Surabaya sudah
diduduki pada 1531 dan Pasuruan, empat tahun kemudian, yakni pada 1535.
Pe¬naklukan Sengguruh, kubu terakhir kean di Jawa Timur, baru terlaksana
pada 1545. Pada tahun berikutnya Kanjeng Sultan Trenggana menyerang
kraton-kraton yang lebih ke timur lagi, di ujung timur Jawa.
Kisah
tutur Jawa setempat, yang menyangkut sejarah pejabat jaman sebelum Islam
yang memerintah Pasuruan dan Sengguruh (Graaf, 1989). pejabat ter¬akhir
di daerah-daerah tersebut termasuk trah para patih Majapahit, mungkin
sekali mereka atau sanak saudara mereka yang masih tinggal dengan para
pengikutnya telah menyingkir ke timur, sesudah orang Islam memperoleh
kemenangan. Menurut Tome Pires, Adipati Blambangan dalam
dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16 itu ayah mertua Pati Sepetat dari
Gamda.
Tentang prajurit perang Kanjeng Sultan Trenggana terhadap
Panarukan pada 1546, seorang “laksamana” dari Pasuruan memegang peranan
penting. Ia bertempur di pihak Islam Jawa Te¬ngah. Jelas, bahwa sesudah
pejabat ditundung dari Pasuruan, Narendra Agung Islam dari Demak Bintara
mengangkat seorang pengikutnya yang setia menjadi pejabat pemerintahan
di tempat itu.
Pengambilalihan kekuasaan kraton Islam di Jawa Tengah
oleh Sultan Pajang tidak menimbulkan keguncangan di Pasuruan maupun
daerah-daerah di Jawa Timur lainnya. Pada 1581 Sultan Pajang diakui
sebagai Kanjeng Sultan oleh Kanjeng Sunan Prapen dari Giri dalam suatu
rapat Adipati Jawa Timur, Adipati Pasuruan hadir juga. Ada dugaan bahwa
penyatuan ke¬kuasaan politik raja-raja Islam Jawa Tengah dan Jawa Timur
di bawah pimpinan pemuka agama dari Giri dan Kanjeng Sultan Pajang juga
bertujuan mengatasi ancaman raja-raja di ujung timur Jawa yang dibantu
oleh Dewa Agung dari Bali. Adipati Pasuruan, yang daerahnya hampir
berbatasan langsung dengan Blambangan, mempunyai alasan kuat untuk
mengusahakan persahabatan dengan raja-raja Islam lainnya. Kanjeng Sultan
Pajang memang juga menguasai daerah Pasuruan.
E. Kontak Diplomasi Kadipaten Pasuruan
Pada
paruh kedua abad Raja Aros Baya, Kanjeng Panembahan Lemah Duwur yang
menjadi menantu Kanjeng Sultan Pajang, telah berkuasa juga di seberang,
yakni daerah Jawa yang berhadapan dengan daerahnya di Madura, daerah itu
adalah Sidayu, Gresik, dan Pasuruan (Koentjaraningrat, 1984). Raja yang
kuat itu mempunyai pengaruh di kraton-kraton tetangganya. Anak
perempuannya yang tertua pernikahannya dengan putri Pajang nikah dengan
Adipati Kapulungan di Pasuruan. Seseorang yang bernama Ki Ageng
Kapulungan disebut namanya dalam sejarah Jawa mengenai Adipati Pasuruan
dan Surabaya.
Pada perempat terakhir abad ke-16 Adipati Pasuruan
berhasil melebarkan sayapnya ke pelosok Jawa Timur hingga daerah Kediri.
Kita ketahui mengenai sejarah kraton penting ini pada abad ke-16.
Campur tangan pemuka agama di Giri dalam urusan daerah pelosok itu dari
1548 sampai 1552, mungkin untuk memperkuat atau memulihkan kekuasaan
gama Islam di situ. Pada 1579 serangan pasukan Adipati Pasuruan
menghabisi kisah kekuasaan raja di Kediri itu (Meinsma, 1903). Di
Kediri, salah satu kota utama kraton Majapahit, setengah abad sesudah
didudukinya kota kraton yang lama, masih terdapat perlawanan terhadap
kekuasaan Narendra Agung Islam di Pajang. Mungkin juga perlawanan
berkobar kembali setelah jatuhnya Kesultanan Demak Bintara. Daerah tua
itu kiranya berperan penting dalam perlawanan terhadap orang Jawa
Tengah. Pada waktu yang sama, Adipati Pasuruan mungkin berhasil
memperkukuh kekuasaannya atas bagian tengah Kraton Majapahit, hingga
wadyabalanya dapat bergerak ke arah barat lewat bagian hilir Sungai
Brantas, hingga dapat mencapai Kediri. Adipati Pasuruan ini sudah hampir
berhasil memulihkan Kraton Majapahit di Jawa Timur, namun kini di bawah
kekuasaan Islam.
Mengenai munculnya Trah Mataram dalam dasawarsa
terakhir abad ke-16 disebut juga seorang Adipati Pasuruan. Sesudah
menduduki Madiun pada 1590, Senopati Mataram yang masih muda itu di
dekat kota tersebut mengalahkan Adipati Kaniten dalam pertempuran
berkuda. Adipati Kaniten ada¬lah seorang adipaten Pasuruan. Kemenangan
dekat Kali Dadung pada 1591 itu tidak memperluas daerah Narendra Mataram
ke timur. Sekembalinva, atas perintah Adipati Pasuruan, Adipati Kaniten
dibunuh sebagai hukuman karena ia telah mundur perang, suatu hal yang
sangat memalukan.
Kaniten ini nama daerah. Pada permulaan abad ke-16
(tahun 1510), telah dicantumkan munculnya keluarga pejabat Kaniten.
Seorang adipati Kaniten pada 1590 atas perintah Adipati Pasuruan, yang
menganggap Kediri termasuk daerahnya, berkewajiban menahan gerakan
Senopati Mataram lebih jauh ke sebelah timur Madiun. Adipati Pasuruan,
yang pada perempat terakhir abad ke-16 berhasil meluaskan kekuasaannya
mungkin sampai Kediri, di ujung timur Jawa pun bertindak keras.
Kabupaten Blambangan pada 1596 dan 1597 diserang oleh wadyabala Islam
dari Pasuruan. Pada 1600 atau 1601 kota Kabupaten Blambangan direbut.
Orang Bali, yang dikirim oleh Adipati Gelgel untuk membantu, tidak dapat
menghalang-halangi kraton penting yang terakhir di Jawa. Perluasan
daerah yang dilakukan oleh Adipati Pasuruan pada akhir abad 16.
Ketika
pada 1589 gabungan Adipati Jawa Timur dan pesisir dekat Japan Mojokerto
menghentikan gerakan pasukan Senopati Mataram ke timur, Adipati
Pasuruan juga membantu Adipati Surabaya, lawan terpenting penakluk dari
Jawa Tengah itu (Ricklefs, 1995). Ada petunjuk bahwa para pejabat di
Surabaya, Kapulungan, dan Pasuruan pada sekitar 1600 berhubungan
keluarga. Ketika naik takhta pada 1613, cucu Senopati Mataram
melanjutkan siasat politik ngelar jajahan trahnya. Para prajurit yang
harus mempertahankan ibu-Kotanegara di Jawa Timur daii daerah pesisir
yang besar dan sudah maju itu tidak mampu bertahan terhadap Mataram yang
gagah berani, Pada 1616 atau 1617 Pasuruan diduduki oleh pasukan
Kanjeng Sultan Agung. Waktu itu Batavia belum didirikan, 1619. Yang
mempertahankan Pasuruan ialah seorang Kanjeng Tumenggung dari
Kapulungan. Setelah kalah, ia tinggal glanggang colong payu ke
Surabaya.
Berdasarkan uraian di atas, sesungguhnya kabupaten Pasuruan
mempunyai perjalanan sejarah yang sangat panjang. Pengalaman hidup
kolektif masyarakat Pasuruan itu bisa dijadikan inspirasi dan refleksi
bagi kehidupan masa kini. Penggalian nilai-nilai lokal tradisional di
Pasuruan perlu digalakkan dengan cara penelitian, pengkajian,
dokumentasi dan publikasi yang dilakukan terus menerus.
sumber: http://tunggakjarakmrajak.blogspot.com/2010/05/babad-kabupaten-pasuruan.html